![]()
Gowa – Delapan puluh tujuh tahun lalu, tepatnya pada 28 Oktober 1928, sekelompok pemuda dari berbagai penjuru Nusantara berkumpul di Jakarta dan mengikrarkan tiga janji suci yang kemudian dikenal sebagai Sumpah Pemuda. Mereka bertekad untuk bertumpah darah satu, tanah air Indonesia; berbangsa satu, bangsa Indonesia; dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Ikrar itu bukan sekadar pernyataan, tetapi sebuah momentum sejarah yang mengubah arah perjuangan bangsa dari yang bersifat kedaerahan menjadi perjuangan nasional.
Kini, sembilan puluh tujuh tahun setelah itu, bangsa ini kembali memperingati Sumpah Pemuda dengan semangat yang sama—semangat untuk menyatukan, membangun, dan melangkah bersama. Namun, refleksi di tahun 2025 ini menuntut kita untuk bertanya lebih dalam: apakah semangat itu masih menyala di dada para pemuda hari ini? Apakah pemuda masa kini masih menyalakan obor perjuangan sebagaimana dilakukan para pemuda 1928, atau justru terjebak dalam hiruk-pikuk zaman yang sering mengaburkan makna kebangsaan?
Peringatan Sumpah Pemuda kali ini bukan sekadar perayaan simbolik. Ia adalah momentum untuk menakar kembali arah gerak pemuda di tengah perubahan sosial, politik, dan teknologi yang begitu cepat. Generasi muda Indonesia hari ini dihadapkan pada situasi yang sangat kompleks: disrupsi digital, degradasi moral, kompetisi global, serta tantangan kepemimpinan lokal. Semua ini membutuhkan pemuda yang bukan hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga tangguh secara karakter, matang secara sosial, dan berintegritas dalam tindakan.
Di tengah refleksi nasional ini, Kabupaten Gowa sebagai salah satu daerah bersejarah di Sulawesi Selatan menyimpan potensi pemuda yang luar biasa. Gowa memiliki tradisi panjang dalam sejarah perjuangan bangsa, dari masa Kerajaan Gowa-Tallo hingga era modern. Semangat siri’ na pacce, yang berarti harga diri dan solidaritas sosial, telah lama menjadi jiwa kepemimpinan orang Gowa. Nilai-nilai inilah yang semestinya menjadi bahan bakar utama dalam membangun karakter pemuda Gowa hari ini—pemuda yang berani, berilmu, dan berdaya guna bagi bangsa.
Namun, realitas yang tampak belum seindah harapan. Tantangan pemuda di tingkat lokal masih berkisar pada rendahnya kesadaran sosial, minimnya literasi politik, hingga terbatasnya akses terhadap ruang aktualisasi. Banyak pemuda yang terjebak dalam budaya pragmatis dan hedonistik, lebih sibuk mencari popularitas di media sosial ketimbang berkontribusi nyata di masyarakat. Dalam konteks ini, peringatan Sumpah Pemuda di Gowa seharusnya menjadi ruang refleksi bersama: bagaimana mengembalikan makna kepemudaan sebagai kekuatan moral dan agen perubahan.
Menariknya, dari rahim pemuda Gowa, muncul sosok-sosok yang kini memberi inspirasi bagi generasi muda di daerah. Dua di antaranya adalah Dzulfikar Ahmad Tawalla, yang kini menjabat sebagai Wakil Menteri Pemberdayaan Pemuda dan Pengembangan Masyarakat Indonesia (Wamen P2PMI), dan Kamaruddin Samad, yang duduk sebagai Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan dari Partai Amanat Nasional. Keduanya adalah kader Pemuda Muhammadiyah Gowa yang tumbuh dari kultur organisasi kepemudaan yang menanamkan nilai-nilai keislaman, keilmuan, dan kebangsaan.
Kehadiran mereka bukan hanya simbol keberhasilan individu, melainkan representasi dari potensi pemuda daerah yang mampu menembus batas lokalitas. Dzulfikar menunjukkan bagaimana seorang pemuda dari Gowa dapat berperan di tingkat nasional dengan visi penguatan peran pemuda berbasis pemberdayaan masyarakat. Sementara Kamaruddin menunjukkan bagaimana kader muda bisa memperjuangkan aspirasi masyarakat di parlemen provinsi dengan semangat idealisme yang kuat. Keduanya menjadi bukti bahwa pemuda daerah bukan hanya penonton dalam panggung kebangsaan, tetapi bisa menjadi aktor utama perubahan.
Dari figur-figur ini, kita dapat belajar bahwa kepemimpinan pemuda tidak lahir secara instan. Ia tumbuh dari proses panjang—melalui pendidikan, pengkaderan, dan pengalaman sosial. Dalam konteks Gowa, organisasi kepemudaan, lembaga pendidikan, dan komunitas sosial harus berkolaborasi menyiapkan generasi muda yang tidak hanya berorientasi pada kekuasaan, tetapi juga pada pengabdian. Nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan, dan kepedulian sosial harus menjadi fondasi utama dalam membangun karakter pemuda Gowa yang siap bersaing di level nasional dan global.
Pemuda hari ini membutuhkan arah baru gerakan kebangsaan yang lebih substantif. Gerakan yang tidak hanya berisi slogan persatuan, tetapi juga praksis sosial yang konkret—mendorong kewirausahaan sosial, partisipasi politik yang sehat, kepedulian terhadap lingkungan, serta penguatan literasi digital yang beretika. Tantangan bangsa tidak bisa dijawab dengan semangat seremonial, tetapi dengan inovasi dan solidaritas lintas sektor yang dipimpin oleh anak-anak muda yang berintegritas.
Dalam konteks itulah, Sumpah Pemuda 2025 seharusnya dimaknai sebagai ajakan untuk memperkuat kolaborasi antara pemerintah daerah, lembaga pendidikan, organisasi kepemudaan, dan sektor swasta dalam mencetak pemuda yang produktif dan berdaya saing. Kabupaten Gowa, dengan segala potensi sumber daya manusianya, memiliki peluang besar untuk menjadi laboratorium kepemimpinan muda yang berkarakter dan visioner.
Pemerintah daerah harus membuka ruang partisipasi yang luas bagi pemuda untuk terlibat dalam proses pembangunan. Dunia pendidikan harus mengintegrasikan nilai kepemimpinan, kemandirian, dan kewirausahaan sosial dalam kurikulumnya. Organisasi kepemudaan harus memperkuat tradisi intelektual dan etika gerakannya. Dan masyarakat harus memberi kepercayaan serta dukungan moral kepada para pemuda yang ingin mengabdi.
Sumpah Pemuda 2025 adalah panggilan bagi generasi muda Gowa untuk bangkit. Bangkit dari apatisme menuju aksi, dari retorika menuju karya, dari sekadar kebanggaan lokal menuju kontribusi nasional. Jika semangat itu terus dijaga, bukan tidak mungkin dari tanah Gowa akan lahir lebih banyak pemimpin muda seperti Dzulfikar Ahmad Tawalla dan Kamaruddin Samad—pemuda yang berpikir global namun berakar kuat pada nilai-nilai lokal dan spiritual.
Pada akhirnya, bangsa ini tidak kekurangan pemuda cerdas, tetapi sering kekurangan pemuda yang memiliki keberanian moral dan keikhlasan dalam berjuang. Sumpah Pemuda mengajarkan kita bahwa perubahan besar selalu dimulai dari kesadaran kolektif sekelompok anak muda yang mau menyalakan obor di tengah kegelapan. Maka biarlah peringatan Sumpah Pemuda 2025 ini menjadi momentum bagi pemuda Gowa untuk kembali menyalakan api itu—api persatuan, api pengabdian, dan api kemajuan. Karena masa depan Indonesia bukan hanya ditentukan oleh seberapa besar sumber daya alamnya, tetapi oleh seberapa kuat karakter dan komitmen pemudanya.

Berita Sebelumnya..
Kiat Berdakwah di Era Digital, PWM Banten Gelar Rapat Kerja Hadapi Tantangan Zaman
LPM Penalaran UNM Resmi Menggelar Seminar Nasional Nalar Scientific Fest 2025 untuk Pertama Kalinya
Bhabinkamtibmas Desa Kopo Sambang Warga Sampaikan Himbauan Kamtibmas di Kecamatan Cisarua